Jumat, 23 April 2010

Catatan Seorang Pemancing
















Hobinya memancing ikan. Bahkan tidak hanya sekedar hobi tapi sudah menjadi dunianya. Tak bakal ia mau lewatkan barang seharipun untuk tidak memancing. Seluruh tubuhnya akan merasakan sakit yang tak bisa terdeteksi secara fisik bila ia tak pergi memancing. Kalau sudah begitu kejadiannya maka seluruh obat di apotek takkan bisa menyembuhkannya, kecuali; pergi memancing. Sebuah dunia yang sudah melekat dalam dirinya.

Sejak kecil ia mulai menggemari hal itu, teringat Kenangan Bersama almarhum ayahnya yang sering mengajak memancing disebuah sungai di tepi desa, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Bagi mereka, memancing itu tugas anggota keluarga, suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan Lauk pauk sebagai asupan protein bagi tubuh tubuh kecil mereka. Setelah setiap hari di jejali singkong, Jagung dan umbi, memang dilihat dari sudut ini berarti hobi memancing itu bukanlah pekerjaan yang tak ada gunanya dan menghabis kan waktu untuk melakukan hal yang tidak Produktif. Kondisi yang demikian Membuat Mereka mencintai dan menghormati sebuah tradisi suatu masyarakat yang sudah turun temurun di tanah Kabayan

O iya, hampir aku lupa. Tokoh utama yang aku ceritakan ini adalah seorang pemancing ikan yang bernama Abah. Namanya serupa denganku, tapi ia bukan diriku. Karena untukku, memancing itu melelahkan tanpa melakukan apa-apa.menunggu harapan tanpa ada kepastian adalah pekerjaan yang bodoh dan itu akan sangat menyiksa. Tapi tidak demikian dengan si Abah pemancing ini, baginya memancing itu melatih mental dan menguji strategi. Seperti catur, namun bidak-bidaknya adalah diri si pemancing itu sendiri. Bahkan, dalam kalimat filosofis, Tuhan itu Maha Pemancing sedangkan manusia adalah umpan sekaligus ikan itu sendiri. Kalau sudah berbicara seperti itu biasanya aku hanya manggut-manggut mencoba memahami walau aku sendiri tak pernah mengerti makna kata-katanya.

Dulu ia pernah menikahi seorang gadis yang terpikat dengan kata-katanya. Tapi baru tiga bulan mereka sudah bercerai, karena istrinya merasa ia dimadu dan istri sejatinya adalah memancing. Bagi Abah, ini hal yang paling sulit aku mengerti, lebih baik bercerai dengan istri daripada bercerai dengan diri sendiri. Kan Aneh.

Ngomong-ngomong soal kata-kata, si Abah ini memiliki gudang kata yang tak terbatas. Cobalah sekali waktu kau temani ia memancing, maka tak kan terasa waktu yang ada karena sepanjang waktu mulutnya akan terus meluncurkan kalimat apa saja untuk menjadi bahan pembicaraan. Ia menguasai topik apapun, dari yang remeh sampai yang aneh, dari yang lokal sampai yang global. Semuanya akan ia kupas habis-habisan sampai kita merasa topik itu sudah tuntas dan ia akan melanjutkan dengan topik yang baru. Apalagi kalau cerita mengenai mancing, dari mulai ujung jawa sampai ujung Sumatra seolah olah tidak ada tempat yang terlewati sepertinya Vini Vidi fishing keukeuh menjadi motto . dimana ia bumi dipijak disitu joran terpancang, dimanapun ia singgah sempat ngak sempat pasti kebelet mancing. Wadouuhhh ….

Pengalaman adalah guru yang paling baik, tapi itu tidak terjadi disini setelah sekian lama berkecimpung dalam dunia mancing, Keangkuhan Seorang Pemancing sejati telah menghabiskan separuh hidupnya untuk hal yang tak berarti apa apa, bagi dirinya Kekalahan adalah dendam yang tak pernah putus saling bodoh membodohi antara ikan, umpan dan nasib sedangkan ikan sendiri sekarang lebih cerdik dari kesabaran seorang pemancing. lebih licik dari seorang penipu. Lebih waspada terhadap umpan. Heran
Sampai suatu hari aku merasakan hal yang paling aneh dari seluruh keanehannya. Ia berjalan dengan kepala menunduk dan mulut terkatup. Bagiku ini sangat aneh. Ia sedang sedih. Padahal ketika dulu ayahnya meninggalpun ia tidak sedih (itu yang terlihat), atau ketika bercerai pun ia tidak sedih karena obat bagi kesedihannya adalah hanya memancing. Tapi kali ini ia benar-benar sedih, sapaanku pun tak dijawabnya. Ia terus melangkah tanpa suara. Benar-benar aneh.

Aku penasaran. Kutanyakan pada teman-teman memancingnya, mereka tak tahu. Tapi ada seorang Kakek yang menunjukkan sungai tempat Abah dulu biasa memancing kini telah berubah menjadi aliran limbah pabrik tekstil ( ikan hanya ada di pasar samping sungai ) Tapi itu kan cuma sebuah sungai, toh ia masih bisa memancing di Bendungan. Namun para Peternak mengabarkan bahwa Waduk Jatiluhur telah tercemar sisa sisa pakan yang mengendap selama kurun waktu yang lama sampai warna air, lumpur dan tanah menjadi hitam, akibatnya semua ikan pada mati dan semua Peternak Ikan ganti profesi.
Ooooh, jadi itulah penyebab kesedihannya, aku tahu sekarang. Aku pun segera pergi menyusul Abah ke rumahnya untuk mengusir duka hatinya. Telah terbayangkan olehku untuk mengajaknya mencari lokasi pemancingan dimanapun tempatnya. Karena diamnya ia menghilangkan keseimbangan dunia. Wuah, sepertinya aku sudah jauh terpengaruhi oleh pikiran-pikirannya. Tapi, jujur saja, aku kesepian kalau ia tak bersuara.Sesampai di rumahnya aku terkejut. Ini lebih aneh dari hal yang paling aneh dari segala keanehan dirinya. Dalam sehari ini aku sudah dikejutkan dua kali olehnya. Aku melihat Abah sedang memancing, di tv pada Acara Mancing Mania. Ini bukan berarti gambarnya ada di dalam tv dan sedang memancing, tetapi ia duduk di depan televisi yang bagian atasnya ia lepas dan memasukkan pancingannya ke dalam kotak televisi yang masih menyala. Ini benar-benar sangat aneh.

“Tadi aku coba menghibur diri, dengan menonton tv. Tapi isinya hanya berita-berita pembunuhan yang membuat peradaban mati.Danau tercemar Polusi, ikan-ikan mati, sawah dibeli, korupsi jadi tradisi. Aku keki. Paras jelita si penyiar yang menyelamatkanku dari sakit hati. Tapi lama kelamaan wajah Wanda, si penyiar itu, meluntur dan berubah menjadi ikan. TV-ku menjadi akuarium dengan ikan-ikan di dalamnya. Ya sudah, aku memancing di sini saja. Kau mau ikutan?”Absurd, sungguh absurd dan tawarannya tak kuhiraukan karena kini di mataku bayangan dirinya pelan-pelan meluntur dan kami tiba-tiba merasa menjadi ikan-ikan di sebuah akuarium yang maha besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar